Hujan deras menyapu jalanan. Membuatku sejak 10 menit yang lalu terpaksa berlindung di salah satu halte pinggiran ibukota. Aku merutuki diriku sendiri yang dengan bodohnya lupa membawa payung.
“Bagus. Sekarang bagaimana aku akan pulang?” tanyaku gemas pada diriku sendiri.
Aku melirik jam di pergelangan tangan. Malam sudah amat larut. Rumahku masih setengah perjalanan.
Hahh… baiklah. Aku menyandarkan pundak di tiang halte. “5 menit lagi hujan tak reda, aku akan nekat” putusku.
Beberapa detik kemudian, sebuah mobil menepi. Sepasang sejoli keluar dan ikut berlindung di bawah atap halte. Aku mengernyitkan dahi. “Sok romantis!” cibirku. Sejoli itu saling tertawa kecil. Saling bergandeng tangan. Duhai, mesra sekali. Serasa halte milik berdua.
Aku mendengus. Baiklah lupakan saja sejoli yang kini sibuk menggombal satu sama lain itu. Setidaknya aku pernah mengalaminya juga. Tentu saja aku tidak menepikan mobil sembarangan, dan menggombal murahan.
Karena hujan bertahun lalu, aku hanyalah seorang gadis kecil. Umurku belum genap 13 tahun. Begitu juga dia.
Dia teman sekelasku. Menjadi teman baikku sejak aku pindah ke ibukota. Dia menjagaku. Dia tak pernah menyakitiku. Singkatnya, dia sahabat yang amat baik.
Dia suka melakukan hal-hal tak terduga, yang sialnya, sungguh manis dan tulus. Entah mungkin dia pandai menyembunyikannya, atau tingkat kepekaanku yang rendah.
Dia menyimpan sesuatu dibalik senyum polosnya.
Hujan bertahun lalu, aku menggendong tas punggungku keluar gedung sekolah. Menengok kanan dan kiri cemas. Aku hanya punya dua pilihan : pulang berjalan, atau menunggu berjam-jam. Mengingat jarak sekolah dan rumahku yang dekat kala itu, aku memutuskan berjalan.
Baru beberapa langkah, kudengar seseorang meneriakkan namaku. Aku memutar kepalaku, dan melihatnya berlari-lari kecil menghampiriku.
"Ya?"
"Kamu mau jalan?"
"Iya"
"Bareng yuk!"
"Loh, emang kamu ngga dijemput?"
"Mmm-hmm" Dia hanya menggeleng. Aku mengernyit heran. Benarkah?
Aku mengangkat bahu. “Terserah aja” ucapku tak acuh. Ia segera mengimbangi langkahku. Kami berdua berjalan menerabas hujan.
Tak terasa sudah setengah perjalanan. Kami berbincang amat banyak. Hingga tak sadar lubang dijalanan. Kakiku nyaris terjerembab. Namun tangan nya menahanku. Tangannya menggenggam tanganku amat erat. “Kamu hati-hati dong. Gapapa kan?” tanyanya khawatir. Aku mengiyakan. Kami melanjutkan setengah perjalanan lainnya dengan bergandeng tangan. Kami tersenyum dibawah derasnya hujan. Sungguh itu hujan terindah.
Sayangnya aku tak pernah sadar. Setahun… Duatahun… Tiga tahun kemudian, aku baru sadar kisahnya yang sebenarnya. Dari mulut ke mulut, aku diberitahu.
Dia menyayangiku amat dalam. Duhai Ibu, dia menyayangiku amat dalam. Namun sungguh, aku tak pernah tau.
Dia tak pernah mengatakannya padaku…
Aku mendesah pelan. Baiklah.. waktu ku menunggu telah habis. Aku membenarkan letak tas tanganku, dan kembali menerabas hujan.
Aku mengingat setiap detail masa kecilku itu. Ketika 3 tahun kemudian, setelah kami lulus, setelah aku sadar perasaannya…
Dia telah menemukan gadis lain.
Aku menggigit bibir. Biar hujan ini menyampaikan pesanku. Biar hujan ini menyampaikan maafku. Aku yang tak pernah menghargai perasaannya.
Dan sungguh, aku menyesalinya.
by : alungnula
Lesehan ┌(˘⌣˘)ʃ
11 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar